dari eramuslim
Oktober 2004 saya tiba di sebuah desa wisata, di sebuah Propinsi di Pulau Jawa. Bersama istri, saya merintis TPA dan kelompok-kelompok pengajian remaja. Tidak lupa pula melibatkan penduduk setempat demi kemajuan kecerdasan dan akhlak anak. Kemajuan yang didapat tidak menggembirakan secara kualitas. Memang cukup banyak anak yang merespon untuk ikut TPA dan banyak orangtua yang sering “memaksa” anaknya agar ikut TPA. Namun –sekali lagi- desa wisata itu memberikan arti tersendiri buat mereka –anak dan orangtua- tentang pendidikan agama.
Januari 2005, saya berinisiatif mengundang orangtua santri TPA untuk mengarahkan dan menjelaskan kembali tujuan didirikan TPA. Ajakan untuk sholat berjamaah dan memakmurkan masjid tidak lupa juga saya singgung. Sekali lagi respon positif dari mereka,
“Bagus deh kalau ada yang serius momong anak kami…” kata mereka kebanyakan.
Momong? Jadi mereka menitipkan anaknya supaya kami momong? Saya dan istri harus berpikir keras untuk memperbaiki persepsi mereka untuk mengikutsertakan anak-anaknya dalam TPA. Melibatkan remaja setempat untuk ikut memikirkan, adalah hal yang sangat sulit. Mereka selalu manut dengan keputusan kami. Salah satu alasannya mungkin karena saya lebih tua dari mereka dan berpengalaman.
“Daripada nggak dipikir-pikir, ya sudah, kita saja yang mikir!” ajak saya kepada istri.
Hampir satu tahun kami di sini. Perkembangan dakwah kami tidak begitu cepat. Namun salah seorang ustadz yang berkunjung ke tempat kami memberi semangat yang luar biasa,
“Lihatlah Nuh, seorang Nabi yang mulia, mengajak umatnya kepada Allah beratus tahun, tapi yang ikut tidak seberapa, bahkan istrinya-pun tidak ikut perkataannya. Juga ada Ibrahim yang dengan tegar dan tegas menentang berhala dalam waktu yang lama juga, tapi ternyata yang ikut cuma istrinya. Kurang mulia apa mereka?”
Benar juga kata beliau. Kenapa kita selalu tidak sabar untuk mendapatkan hasil dari perjuangan kita? Padahal, lebih mulia mana diri kita dibandingkan dengan nabi Nuh, Ibrahim dan para Anbiya serta Wali-wali Allah yang dakwahnya memakan waktu yang jauh lebih lama. Lebih suci mana hati kita dibanding mereka yang selalu minta pertolongan Allah dan yakin akan ketentuan-Nya. Dari teguran halus itu, saya dan istri merasa telah salah langkah karena ingin terburu-buru memetik hasil.
Jadi, apabila anda sudah merasa melebihi kadar ketaqwaan para Anbiya dan wali-wali Allah, barulah da boleh memburu hasil dakwah anda dengan cepat. Bisakah? Sedangkan terburu-buru adalah bagian dari sifat setan.
Na’udzubillah.
Monday, August 29, 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)